Keberadaan
paham sesat Syi’ah di Indonesia semakin disadari eksistensinya ketika
di Iran terjadi revolusi yang berlangsung sejak awal 1978 dan berakhir
di penghujung 1979, saat Khomeini disepakati menjadi pemimpin tertinggi
negara pada bulan Desember.
Keberhasilan
revolusi Iran meruntuhkan kekuasaan rezim korup Shah Mohammad Reza
Pahlevi yang bercorak monarki menjadi republik, membuat sebagian pemuda
kita yang sudah jenuh dengan rezim Soeharto menjadi melirik paham
Syi’ah. Sebagian dari mereka tidak sekedar melirik tetapi justru
kepincut. Bahkan, ada yang menjadi misionaris syi’ah. Salah satu
diantaranya adalah Jalaluddin Rakhmat.
Menurut
pengamat politik, sesungguhnya bukan paham Syi’ah yang membuat revolusi
Iran berhasil menumbangkan rezim monarkis yang korup, tetapi sekutu
Iran yakni Amerika sudah mulai jenuh dengan kepemimpinan Shah Mohammad
Reza Pahlevi yang terlalu lama (dari 16 September 1941 hingga 11
Februari 1979).
Kala
itu, Amerika dan negara-negara Barat pada umumnya mulai menginginkan
diterapkannya demokrasi di Iran. Apalagi, kekuatan militer yang selama
ini menjaga kekuasaan rezim Shah Iran, menunjukkan sikap berbeda: dari
semula mendukung kemudian bersikap ‘netral’ yang berarti melepaskan
dukungan. Ditambah lagi dengan inflasi yang tinggi, demonstrasi yang
massif dan terus menerus, membuat rezim Shah Iran yang sekuler pun
runtuh.
Namun
demikian, sebagian generasi muda Islam tetap kepincut dengan Syi’ah
yang merupakan induk kesesatan ini. Untuk itulah para tokoh Islam kala
itu, berusaha membendung masuknya paham Syi’ah ke kalangan muda. Salah
satu upaya yang dilakukan adalah menerbitkan buku saku sebagaimana
dilakukan Prof. Dr. H.M. Rasyidi (1984)
Sebelumnya, 1983, Departemen Agama saat jabatan menterinya dipegang oleh Munawir Sjadzali, mengeluarkan surat edaran bertajuk Hal Ikhwal Mengenai Golongan Syi’ah.
Setidaknya, menurut edaran tersebut, perbedaan antara Syi’ah dengan
Islam (ahlussunnah wal jama’ah) dapat dilihat pada tujuh hal pokok.
Pertama, mengenai kedudukan Ali bin Abi Thalib ra. Menurut pandangan Islam, Ali bin Abi Thalib ra merupakan
salah satu dari Khulafa Rasyidin, sebagai Khalifah ke-4. Namun menurut
pemahaman Syi’ah, Ali ra adalah Imam yang maksum (terjaga dari salah dan
dosa.), serta memiliki sifat-sifat Ketuhanan, dan mempunyai kedudukan
di atas manusia. Pemahaman tersebut jelas-jelas bukan merupakan ajaran
Islam.
Kedua, mengenai kedudukan Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra dan Usman bin Affan ra.
Menurut pandangan Islam mereka adalah Khulafa Rasyidin (sebagai
khalifah pertama, kedua dan ketiga). Namun menurut pemahaman Syi’ah,
kekhalifahan mereka (terutama Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra)
tidak sah, karena dianggap menyerobot hak Ali bin Abi Thalib ra. Selain
mengingkari, kalangan Syi’ah juga mengutuk Abu Bakar ra dan Umar bin
Khattab ra. Mengingkari dan mengutuk Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab
ra menurut ajarah Syi’ah merupakan ajaran prinsip yang harus dilakukan.
Sementara itu, menurut ajaran Islam, perbuatan tersebut tidak patut dan
dilarang.
Ketiga, mengenai kedudukan Kekhalifahan
(Khilafah). Menurut pandangan Islam, Khalifah adalah pemimpin umat yang
harus memenuhi syarat-syarat kepemimpinannya; siapapun dapat menduduki
jabatan ini asal memenuhi syarat dan ditempuh dengan cara yang sah;
selain itu, menurut pandangan Islam perihal Khalifah adalah masalah
keduniaan dan kemashlahatan (bukan bagian dari Rukun Iman). Namun
menurut pemahaman Syi’ah, Khalifah atau Imam itu harus dari keturunan
Ali bin Abi Thalib ra dan bersifat maksum; Imam mempunyai sifat-sifat
Ketuhanan; kedudukan Imam lebih tinggi dari manusia biasa, sebagai
perantara antara Tuhan dan manusia; perihal Imam termasuk masalah
keagamaan dan menyangkut keimanan (Rukun Iman versi Syi’ah); kedudukan
Imam sebagai penjaga dan pelaksana syari’at; selain itu menurut
pemahaman Syi’ah, apapun yang dikatakan atau diperbuat Imam dianggap
benar, dan yang dilarang oleh Imam dianggap salah.
Keempat, mengenai Ijma’
Ulama. Menurut pandagan Islam, Ijma’ Ulama sebagai sumber hukum ketiga
setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Namun menurut pemahaman Syi’ah, Ijma’
Ulama tidak diakui sebagai salah satu sumber hukum, karena hal itu
bermakna memasukkan unsur pemikiran manusia ke dalam agama, dan itu
tidak boleh. Menurut pemahaman Syi’ah, Ijma hanya dapat diterima apabila
direstui oleh Imam, karena Imam adalah penjaga dan pelaksana Syari’at.
Kelima, mengenai Hadits.
Menurut pandangan Islam, Hadits didukkan sebagai sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an; sebuah Hadits dapat diterima bila diriwayatkan oleh
orang yang terjamin integritasnya, apapun golongannya. Sedangkan menurut
pemahaman Syi’ah, sebuah Hadits dapat diterima bila hadits itu
diriwayatkan oleh ulama Syi’ah. Ini berarti kalangan Syi’ah
memperlakukan Hadits secara diskriminatif.
Keenam, mengenai Ijtihad.
Menurut pandangan Islam, Ijtihad diakui keberadaannya karena dianjurkan
oleh Al-Qur’an dan Hadits.; selain itu, menurut pandangan Islam,
Ijtihad adalah sarana pengembangan hukum dalam bidang-bidang keduniaan.
Namun menurut pemahaman Syi’ah, Ijtihad tidak diperkenankan karena
segala sesuatu harus bersumber dan tergantung Imam. Ini berarti, dalam
pandangan Syi’ah, kekuasaan Imam menurut bersifat religius otoriter.
Ketujuh, mengenai Nikah Mut’ah.
Menurut pandangan Islam, Nikah Mut’ah merupakan sesuatu yang dilarang
(tidak boleh), dan dipandang sebagai menyerupai perzinahan, merendahkan
derajat wanita, dan berdampak menelantarkan anak/keturunan. Namun
menurut pandangan Syi’ah, Nikah Mut’ah itu selain halal juga
dipraktekkan sebagai salah satu identitas dari golongan Syi’ah Imamiah.
Demikianlah
tujuh pokok perbedaan antara Islam dan Syi’ah. Berkenaan dengan
terpilihnya Abu Bakar ra sebagai Khalifah pertama, dapat dilihat melalui
penuturan gamblang Prof. Dr. H.M. Rasyidi melalui bukunya berjudul Apa Itu Syi’ah? yang terbit tahun 1984.
Ketika
Rasulullah wafat pada 8 Juni 632 M, saat itu Negara Madinah baru
berusia 10 tahun. Ada dua jabatan yang melekat pada Muhammad SAW, yaitu
sebagai Rasulullah dan sebagai kepala negara. Sebagai Nabi dan Rasul,
tentu tidak ada lagi Nabi dan Rasul sesudah wafatnya Muhammad. Namun
sebagai kepala negara, harus ada pengganti.
Menurut penuturan Prof. Dr. H.M. Rasyidi: “Dalam
suasana yang kalut, Umar ibn Khattab mengulurkan tangannya kepada Abu
Bakar agar ia berdiri. Dan setelah Abu Bakar berdiri Umar mengatakan
bahwa ia dengan rela hati akan patuh kepada Abu Bakar sebagai pengganti
nabi atau khalifah. Dengan ucapan Umar itu semua yang hadir serentak
menyampaikan persetujuan mereka. Setelah itu Abu Bakar sebagai Khalifah,
bersama-sama Umar dan sahabat-sahabat Nabi lainnya, pergi ke rumah Nabi
Muhammad saw untuk mengurus pemakaman jenazah beliau saw.”
Peristiwa
tersebut bagi kalangan Syi’ah, merupakan penyerobotan Umar dan Abu
Bakar terhadap hak Ali yang sesungguhnya menurut angapan mereka paling
berhak atas jabatan khalifah. Menurut Prof. Dr. H.M. Rasyidi,
kecenderungan sekelompok orang terhadap Ali antara lain didasarkan pada
sifat berani Ali yang ditunjukkannya di medan peperangan, keakraban Ali
dengan Muhammad SAW, status Ali yang bersaudara sepupu dengan Rasululah.
Terlebih lagi, Ali kemudian menjadi menantu Muhammad Rasulullah. Ali
menikah dengan Fathimah dan dikaruniai Allah dua orang cucu lelaki:
Hasan dan Husein.
Husein
kemudian menikah dengan putri Persia (Iran) yang terakhir. Bangsa
Persia, sebelum masuk Islam mempunyai kecenderungan menghormati,
menjunjung tinggi bahkan mendewa-dewakan raja-raja mereka. Bahkan
setelah masuk Islam pun kecenderungan itu masih berlanjut, mereka
memandang Nabi seperti mereka memandang Kisra (Raja persia), dan
memandang keluarga Nabi sebagaimana mereka memandang Dinasti Persia, dan
mereka menganggap bahwa jika Nabi wafat, maka penggantinya haruslah
dari pihak keluarga nabi.
Latar
belakang budaya Persia (Iran) seperti itulah yang menyebakan paham
sesat Syi’ah berkembang di Iran, bahkan berhasil menumpas Islam (Sunni)
sejak agama Syi’ah Imamiyah (khususnya Itsna ‘Asyriyah) menjadi agama
resmi negara. Menurut Rasyidi: “…ketika Isma’il Shafawi jadi
penguasa di Iran, ia menjadikan aliran Itsna ‘Asyriyah sebagai agama
resmi negara, dan menghapuskan aliran Ahlus Sunnah. Ia meninggal pada
tanggal 24 Mei 1524. Dinasti Shafawi dihapuskan oleh Nadirsyah pada
tanggal 26 Februari 1737, tetapi agama Syi’ah Itsna ‘Asyriyah tetap
menjadi agama negara.”
Menurut mendiang Drs. KH Moch. Dawam Anwar dalam sebuah makalahnya berjudul Inilah Haqiqat Syi’ah,
meski paham Syi’ah itu tediri dari berbagai sekte, namun bila saat ini
kita menyebut Syi’ah, maka yang dimaksud adalah Syi’ah Imamiyah,
khususnya Itsna ‘Asyariyah, yaitu golongan Syi’ah yang percaya kepada
Dua belas Imam. Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah telah mencakup sebagian
besar pendapat-pendapat dan aqidah yang dianut oleh sekte-sekte Syi’ah
lain yang berbeda-beda.
Menurut (mendiang) KH Irfan zidny, MA
yang pernah tinggal di negara-negara berpenduduk mayoritas Syi’ah, dan
pernah belajar kepada ulama-ulama Syi’ah, selama delapan belas tahun, “Syi’ah
Imamiyah Itsnaa ‘Asyariyah lebih tepat disebut Aliran Politik daripada
Aliran ‘Aqidah (Tauhid dan Syariah). Ini dapat dilihat dari definisi
para Ulama Syi’ah sendiri tentang faham ini. Sebutan Syi’ah Imamiyah
Itsnaa ‘Asyariyah memperkuat makna Syi’ah sebagai faham politik seperti
masalah siapa yang berhak menjadi kepala negara sesudah Nabi saw wafat,
bagaimana bentuk negara Islam, apa UUD Islam, dan sebagainya. Pengaruh
Imamah (‘Ali dan anak keturunannya) lebih menonjol dalam kegiatan dan
moralitas Syi’ah, sehingga mewarnai semua ajarannya seperti Aqidah,
Syariah dan Tasawuf. Imamah menjadi sumber penafsiran Al-Qur’an,
pembuatan dan penjelasan hadits dan sumber kekuasaan setelah Allah SWT
dan Rasulullah saw.”
Menurut Drs. HM Nabhan Husein, seraya mengutip kitab Sa’ad bin Abdullah Al-Asy’ari Al-Qummi, dikatakan bahwa “…
Syi’ah Imamiyah Itsnaa ‘Asyariyah itu timbul belakangan dan tidak
pernah ada dan diketahui di masa Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin.
Ia merupakan kombinasi berbagai faham Syi’ah yang ada sebelumnya…”
Hal
ini dapat diartikan Syi’ah yang kita kenal sekarang belum tentu atau
bahkan tidak ada kaitannya sama sekali dengan dinamika politik pasaca
wafatnya Rasulullah saw, yang sempat melahirkan pengikut (syi’ah) Ali
dan pengikut (syi’ah) Mu’awiyah. Kedua syi’ah pada masa itu adalah Islam
ahlussunah wal jama’ah, tidak mempunyai konsep dan paham sesat
sebagaimana dipraktekkan oleh syi’ah yang berkembang di Iran.
Boleh jadi, syi’ah dihidupkan oleh kepentingan Barat, sebagaimana bisa dilihat antara lain pada masa Isma’il Shafawi, menurut DR. M. Hidayat Nur Wahid,
telah terjalin hubungan kerja sama politik keamanan dan ekonomi dengan
Barat (Eropa) untuk menghadapi musuh bersama yaitu Daulah Turki Utsmani
yang berpaham Sunni. Selain itu, menurut Hidayat, pada masa Isma’il
Shafawi juga sudah ada pakta militer dengan Portugal yang intinya berisi
kesepakatan bahwa Isma’il Shafawi tidak akan menuntut Portugal untuk
mengembalikan pulau Hurmuz dan pelabuhan Kamberun, sementara itu
Portugal sepakat untuk membantu Isma’il Shafawi melawan Turki Utsmani.
Di Indonesia, menurut KH Thohir Abdullah Al-Kaff, perkembangan Syi’ah dibungkus dengan istilah madzhab Ahlul Bait,
perkembangannya pasca revolusi Iran 1979, terolong pesat. Gerakan
mereka dikemas dalam institusi berbentuk pesantren dan yayasan. Upaya
yang dilakukan selain menerbitkan berbagai buku tentang Syi’ah
memanfaatkan media massa, menyelenggarakan ceramah-ceramah agama, juga
melalui jalur pendidikan dan pengkaderan di pesantren-pesantren, maupun
di majelis-majelis ta’lim.
Sosok
yang terlihat gigih mensosialisasikan Syi’ah selain Jalaluddin Rakhmat
(ketua IJABI, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) juga Said Agil Siradj
yang kini Ketua Umum PBNU, dengan bukti begitu gigihnya dalam acara
kesyiahan misalnya peringatan Asyuro dengan aneka namanya. Entah haul
Husein cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau semacamnya.
Secara kultural, paham sesat Syi’ah memang dipraktekkan kalangan NU,
seperti ziarah kubur dengan praktek-praktek yang tidak syar’i. Secara
kultural, sebagian tradisi dan ritual ala syi’ah memang sudah
dipraktekkan, namun lebih sering karena ketidaktahuan semata, bukan
karena mereka benar-benar mengerti akan hal itu.
Untuk
itulah tugas para juru dakwah memberikan pencerahan kepada ummat Islam
yang awam, terutama mereka yang tidak bisa membedakan antara Islam dan
bid’ah padahal di dalam bid’ah itu tidak jarang mengandung paham sesat
syi’ah. Ini merupakan pekerjaan yang tidak main-main dan tingkat
kesulitannya cukup tinggi, karena para praktisi bid’ah itu sebagian
bergerombol di dalam sebuah ormas yang konon jumlah jama’ahnya terbanyak
dibanding ormas-ormas lain. Apalagi salah satu mantan pucuk pimpinannya
pernah menjadi pemimpin nasional yang ternyata banyak menghidupkan
kesesatan bahkan kemusyrikan, misalnya ruwatan dan sebagainya. Musibah
bagi Ummat Islam. Namun bagi dedengkot aliran sesat syi’ah di Indonesia,
tahun 2000-an itu seakan jadi periode emas, hingga kewetu (terlontar ucapan) dari mulutnya: Mumpung presidennya Gu. (Sumber)
Posting Komentar