
Mbah
Salman, demikian sang kiai akrab disapa, adalah anak laki-laki tertua
dari K.H.M. Mukri bin K.H. Kafrawi. Dan dia merupakan cucu laki-laki
tertua dari K.H.M. Manshur, pendiri pesantren yang sekarang ini
diasuhnya. Kiai Manshur sendiri adalah putra dari Syaikh Muhammad Hadi
Girikusumo, salah seorang khalifah Syaikh Sulaiman Zuhdi, guru besar
Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Jabal Abi Qubais Makkah.
Sebagai
cucu laki-laki tertua, Salman memang dipersiapkan oleh sang kakek,
K.H.M. Manshur yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai
awliya, untuk melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus
mursyid Thariqah Naqsyabandiyah.
Tahun
1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun
kemudian, membai’atnya sebagai mursyid, guru pembimbing tarekat. Maka,
ketika pemuda-pemuada lain seusianya tengah menikmati puncak masa
remajanya,–mau tidak mau- Gus Salman harus memangku jabatan pengasuh
pesantren sekaligus mursyid.
Untuk
menambah bekal pengetahuannya sebagai pengasuh, Gus Salman nyantri lagi
ke pesantrennya K.H. Khozin di Bendo, Pare, Kediri selama kurang lebih
empat tahun (1956 – 1960). Sebulan sekali, ia nyambangi pesantren yang
diasuhnya di Popongan, yang selama Salman mondok di Kediri, diasuh oleh
ayahnya sendiri, K.H.M. Mukri.
Sebelum
diangkat menjadi mursyid, Salman mengenyam pendidikan di Madrasah
Mamba’ul Ulum, Solo dan beberapa kali nyantri pasan (pengajian bulan
Ramadhan) kepada K.H.Ahmad Dalhar, Watu Congol, Magelang,
Pesantren Sepuh
Seiring
dengan perkembangan jaman, pesantren yang diasuh oleh Kiai Salman juga
mengalami perkembangan. Jika semula santri hanya ngaji dengan sistem
sorogan dan bandongan, mulai tahun 1963 didirikan lembaga pendidikan
formal mulai Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Diniyah (1964),
Madrasah Aliyah (1966) dan yang terakhir TK Al-Manshur (1980).
Saat
ini pesantren Al-Manshur Popongan terdiri tiga bagian : pesantren
putra, pesantren putri dan pesantren sepuh yang diikuti oleh orang-orang
tua yang menjalani suluk, lelaku tarekat. Berbagai bentuk kegiatan
pesantren juga ditata ulang, sekaligus dengan penunjukkan penanggung
jawabnya. Kiai Salman sendiri, selain sebagai sesepuh pesantren, juga
mengasuh santri putra dan santri sepuh (santri thariqah) yang datang
untuk suluk dan tawajuhhan pada bulan-bulan tertentu.
Belakangan,
seiring dengan kian lanjutnya usia beliau, Kiai Salman tampaknya juga
menyiapkan kader pribadinya, baik sebagai pengasuh pesantren maupun
mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam (35 th). Kondisi fisik Kiai yang
sangat tawadhu ini, belakangan, memang agak melemah dan intonasi
suaranya tidak lagi sekeras dulu. Maka putra ketujuhnya yang lahir di
Makkah inilah yang menjadi badalnya (pengganti) untuk memberikan
pengajian-pengajian.
Figur
yang amat bersahaja, ramah serta tawadlu’ adalah kesan yang akan
didapati oleh siapapun yang bertamu ke rumah kiai, yang bulan Ramadlan
1425 H lalu genap berusia 70 tahun menurut perhitungan hijriyah ini.
Ketika berbicara dengan para tamunya Kiai Salman lebih sering
menundukkan kepala sebagai wujud sikap rendah hatinya. Bahkan tidak
jarang, beliau sendiri yang membawa baki berisi air minum dari dalam
rumahnya untuk disuguhkan kepada para tamu. (Sumber)
Posting Komentar