Suatu
hari aku berziarah kepada Guruku. Saat itu Beliau sedang terbaring di
opname dirumah sakit. Bersyukur sekali dalam kedaan darurat aku di
izinkan untuk langsung bertemu Beliau. Aku masih ingat saat itu aku
menangis lama melihat Guruku yang selama ini gagah dan sehat terbaring
lemah di kamar rumah sakit. Aku masuk kekamar dengan pelan agar tidak
mengganggu istrahat Beliau. Beliau melirik ke arahku dan berkata:
“Kapan kau datang?”
“Baru 1 jam yang lalu Guru”
Kemudian
Beliau menatap langit-langit kamar seakan ingin mengatakan sesuatu tapi
tidak sempat keluar dari mulut Beliau. Dalam hatiku berkata, bagaimana
mungkin seorang wali Allah bisa sakit, padahal segala jenis penyakit
sembuh berkat doa dan syafaat Beliau. Saat aku sedang mengucapkan itu
dalam hati, kemudia Beliau menoleh kepadaku dan berkata:
“Sufi
Muda, rohani Gurumu itu tidak pernah sakit karena dia berasal dari Yang
Maha Sehat dan akan terus mengalirkan syafaat serta terus menerus
menyalurkan rahmat dan karunia Allah lewat dadanya, akan tetapi fisik
Gurumu akan tunduk kepada Firman Afaqi sesuai dengan hukum-hukum alam
yang telah ditetapkan Tuhan. Salah satu sifat dari Nabi adalah HARUS dia
seperti manusia biasa. Kalau Nabi terkena api harus dirasakan panas
seperti layaknya manusia begitu juga kalau nabi berjalan di tengah malam
akan merasakan dingin. Begitu juga berlaku kepada wali-Nya, akan tunduk
kepada hukum alam ini. Sifat HARUS seperti manusia itu juga salah satu
cara Tuhan menyembunyikan Kekasih-Nya dari pandangan dunia ini.
Junjungan kita Nabi Muhammad SAW berani dilempari kotoran unta
dikarenakan orang kafir terhijab oleh hijab Insani”.
Aku
hanya diam di sudut ranjang, menatap mata Guru yang amat aku sayangi
dan setiap pertemuan aku dengan Guruku selalu aku rasakan hal baru yang
sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata. Benar sekali apa yang
dikemukan oleh para sufi bahwa bertemu dengan Guru Mursyid itu adalah
satu karunia Allah yang sangat besar. Saat menatap mata Beliau
seakan-akan ruhani ini terbawa melayang langsung ke Alam Rabbani. Salah
satu hadab bertemu dengan Guru adalah tidak diperkenankan kita banyak
berbicara dan baiknya hanya mendengar dan ketika ditanya oleh Guru
haruslah menjawabnya dengan bahasa yang sopan dan dalam hati terlebih
dahulu harus memperbanyak Istikhfar, memohon ampun kepada-Nya agar dalam
mengucapkan kata-kata kepada Guru nanti tidak disusupi oleh nafsu dan
setan.
Dalam
hatiku kembali timbul pertanyaan, bukankah Guru bisa berdoa kepada
Allah agar disembuhkan dari penyakit ini? Sebagai Wali Allah tentu saja
Beliau bisa mendengar suara hatiku, tiba-tiba guruku berkata, “Tidak seperti itu Sufimuda….”
“Pernahkah kau mendengar kisah tentang Nabi Ayyub?”
“Pernah Guru”
“Apa yang kau ketahui tentang Nabi Ayyub?”
“Nabi Ayyub adalah nabi yang paling banyak mengalami sakit, Guru” jawabku.
Kemudian Beliau dengan senyum berkata, “Nabi
Ayyub, sakit-sakitan dia, kemudian dia berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah
sembuhkanlah penyakitku ini’, kemudian Allah berfirman, ‘Apa kau ucapkan
Ayyub?’ nabi Ayyyub kembali mengulang do’anya: ‘tolong sembuhkanlah
penyakitku ini’ dengan marah Tuhan berkata kepada Nabi Ayyub: ‘Hai
Ayyub, sekali lagi kau berdo’a seperti itu aku tampar engkau nanti’
Kemudian dengan polosnya nabi Ayyub bertanya kepada Allah: ‘Ya Allah,
berarti engkau senang kalau aku sakit?’ dengan tegas Allah menjawab:
‘Ya, Aku senang kau sakit’. Setelah Nabi Ayyub tahu Tuhan senang kalau
dia sakit maka diapun dengan senang menjalani sakitnya itu. Setiap dia
mau ambil wudhuk dia pindahkan ulat yang ada di badannya dan setelah
selesai beribadah kembali diambil ulat tadi diletakkan di badannya
sambil berkata kepadda ulat, ‘hai ulat, kembali kau kesini, Tuhan senang
aku sakit’. Begitulah yang dialami nabi Ayyub, maka Gurumu ada
persamaan seperti itu”.
Sambil minum segelas air putih kembali Beliau berkata kepadaku, “Aku
sudah berjanji kepada Tuhan agar terus memuja-Nya dan berdakwah,
makanya setiap aku cerita tentang Tuhan maka badanku terasa enak”.
“Sufi Muda….”
“Saya Guru…”
“Suatu
saat nanti kau pasti tahu kenapa aku sakit, silahkan baca dan renungi 2
ayat terakhir dari surat at-Taubah, disana kau menemukan jawabannya.
Bacalah Laqadjaakum dengan pelan dan mesra jangan seperti burung beo
yang tidak pernah tahu makna dari ucapannya”.
Kemudian Beliau membacakan surat at-Taubah sambil menangis, “Laqadjaakum Rasulun min anfusikum, azizun alaihi ma anittum, harisun alaikum bil mukminina raufur rahim….”
Aku
merasakan dadaku bergemuruh dan berguncang hebat mendengar ayat yang
Beliau bacakan. Serasa rontok dada ini, dan seluruh tubuh berguncang
hebat, aku menangis dengan sejadi-jadinya. Apalagi Beliau membacakan
arti ayat tersebut, “….
Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan
keselamatan, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin….”
Sungguh
lama aku tenggelam dalam tangisan sambil menatap wajah Guruku yang
mulia. Firman Allah yang dibacakan oleh kekasih Allah sangat berbeda
dengan ayat Allah yang dibacakan oleh pada umumnya orang. Benar seperti
yang dikemukan oleh Para Syekh Besar bahwa apabila Wali-Nya membacakan
ayat-Nya pastilah Dia hadir menyertai bacaan Kekasih-Nya.
Aku
memangis menyesali diri yang selama ini hanya menjadi beban Guru, hanya
bisa meminta tapi belum bisa memberi, hanya bisa membebani belum bisa
berbhakti, hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau peduli, hanya
mengharapkan kasih sayang tanpa mau menyayangi.
“Sufi Muda….”
“Saya Guru…”
“Jangan
pernah engkau patah semangat kalau melihat Gurumu seperti ini, seluruh
dokter di dunia ini tidak akan bisa menyembuhkan sakitku ini. Tuhan
ingin menunjukkan kebesaran-Nya. Dan Tuhan sekarang sedang bekerja ke
arah sana. Yang kau lihat keramat dan gagah dalam nyata dan mimpimu itu
bukanlah aku, tapi itu adalah pancarahan dari Nur Ilahi. Aku hanyalah
seorang hamba yang tiada berdaya. Muridku….yang Hebat itu Tuhan saja”
Kemudian Beliau membacakan surat Al-Mujaadilah ayat 21: “Kataballahu
La Aghlibanna anaa wa rusulii, innallahaa qawiyum ‘azii zun (Allah
telah menetapkan, bahwa tiada kamus kalah bagi Ku dan rasul-rasul-Ku.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Gagah”.
Ketika aku berpamitan sambil mencium tangannya
Barulah
aku tahu bahwa sakit seorang Wali itu bukan sakit biasa akan tetapi
sakit karunia. Sakit menanggung beban dari orang-orang yang selalu
bersamanya bahkan beban dunia ini. Seminggu kemudian Beliau sembuh,
sehat wal afiat bahkan lebih sehat seperti sebelumnya. Terimakasih Tuhan
atas berkenannya Engkau mengabulkan do’aku sehingga Guruku sehat
kembali.
Ya Tuhan,
Berilah
panjang umur dan kesehatan kepada Guruku agar beliau lebih lama lagi
membimbing dan menuntun aku yang bodoh dan dungu ini ke jalan-Mu yang
Maha lurus.
Ya Tuhan,
Andai
masih ada karunia berupa kesenangan dunia yang kelak akan Engkau
berikan sepanjang hidupku, berikanlah kesenangan itu kepada Guruku agar
Beliau selalu bahagia dan sejahtera.
Ya Tuhan,
Jadikanlah
aku orang yang selalu bisa merasakan apa yang dirasakan Guruku,
senyumnya menjadi senyumku, deritanya menjadi deritaku, kepedihannya
menjadi kepedihanku agar aku bisa mengerti makna dan tujuan hidup di
dunia ini.
Ya Tuhan,
Jangan
engkau memasukkan aku kedalam orang-orang yang merasa dekat kepada
kekasih-Mu yang tanpa sadar justru lebih banyak menyakiti hatinya.
Janganlah aku menyayangi kekasih-Mu seperti sayangnya anak kecil kepada
seekor kuncing yang terus menerus didekap dalam pelukannya sehingga
kucing itu sulit bernafas dan akhirnya mati. Jadikanlah rasa sayangku
kepada Guruku sebagaimana Ia ingin disayang.
Ya Tuhan,
Ajari aku yang bodoh, lemah dan tiada berdaya ini untuk bisa mencintai kekasih-Mu sebagaimana ia ingin dicintai.
Ya Tuhan,
Izinkanlah aku bisa terus bersama kekasih-Mu dan bisa melayaninya dengan baik.
Ya Tuhan
Perkenankanlah doaku ini….
(Sumber)
(Sumber)
+ komentar + 1 komentar
Berikanlah berkahmu pada kami sebagaimana engkau memberkati para kekasihmu ya rabbbbbi............................
Posting Komentar